Tidak banyak guru yang mencermati kondisi ini. Atau memang sifat guru yang senang didengar ketimbang mendengar. Seluruh penjelasan di depan kelas mutlak didengar dan dihafal. Sementara ketika seorang murid mengajukan opsi pertanyaan, dipatahkan sang guru. ”Kamu dari tadi tanya terus. Kurang jelas penjelasan pak guru?” Kondisi seperti ini tak banyak terjadi dalam kelas, meski juga tak sedikit terjadi. Yang terjadi kelas menjadi suram, tidak harmonis. Murid menjadi penakut dan minder. Banyak hal yang tidak paham akhirnya kecil ’nyali’ untuk sekadar mengacungkan jari sambil berkata, ”Pak guru mau nanya?”
Mari mencermati jika kita mengikuti seminar. Hal pertama, tak banyak peserta yang antusias duduk di depan. Itu terjadi karena frame dari awal, duduk di depan itu akan menjadi sasaran. Sementara urusan menjawab pertanyaan bukan perkara mudah. Apalagi bertanya. Antara paham dan tidak juga tak dimengerti. Kedua, ketika sesi tanya jawab, sedikit sekali tangan teracung untuk bertanya. Bukan karena tak mengerti, takut bisa saja terjadi, karena tak percaya diri. Ketakutan itu timbul karena bawaan saat mengenyam pendidikan, guru selalu mematahkan saat siswa bertanya. Kemudian guru pasang muka menakutkan dan kaku. Superformal. Kemungkinan lain, tidak tahu apa yang mau ditanyakan. Bertanya itu butuh latihan. Mental, fokus pada materi menjadi modal utama. Sementara dulu saat sekolah, hal itu patah karena guru jengkel lalu melampiaskan dengan nada tinggi, saat siswa bertanya dengan pertanyaan yang sama. ”Otak bebal kamu ya, gak ngerti-ngerti.”
Hasilnya, kini banyak manusia hasil didikan keras memilih menjadi manusia terbelakang. Tak hanya mental, tapi juga cara duduk. Lebih memilih di belakang, mencari posisi aman, ketimbang risiko yang menurutnya berat. Padahal ringan. Lebih dari itu, dampak dari kelas yang tak kondusif, banyak siswa yang kelewat iseng saat berpapasan dengan guru killer berbisik kepada temannya, ”Awas raja hutan lewat.” Apakah mereka tersenyum? Tersenyum pun terpaksa. Begitu guru berlalu, ”aduh selamat gak dimakan binatang buas”.
Harga diri pendidik di mata siswa turun. Wibawa sekadar wibawa. Jika sudah demikian posisi guru sebagaimana falsafah Jawa ‘guru iku digugu lan ditiru’ menjadi tak layak lagi. Mari para pendidik, zaman bukan lagi zaman kolonial yang harus mengajar dengan kekerasan. Beri siswa senyuman ketika masuk ruangan, sehingga kesan pertama siswa nyaman berada di kelas. Kemudian, sebelum memulai pelajaran beri semangat dengan kalimat motivasi agar semangat siswa terjaga. Lempar pertanyaan yang kiranya tak berat bagi siswa untuk menjawab. Sebagai guru, pasti bisa mengukur seberapa jauh kualitas anak didik. Rangsang siswa dengan kalimat yang tak mereka pahami sehingga antusias dan keberaniannya bertanya terasah.
Enyahkan sikap teman sekelas mengejek siswa yang bertanya karena pertanyaan itu sudah ada jawabannya. Ini juga penyakit yang mendarah daging. Guru harus bijak bagaimana menjawab dengan baik dan menghargai keberanian siswa bertanya. Sekali lagi, bertanya itu bukan perkara mudah. Jika pelajaran usai, dengarkan keluhan siswa apapun itu masalahnya. Berikan jawaban semampunya. Gilir siapa yang harus bercerita tentang masalahnya. Kenapa mesti demikian. Guru adalah orangtua kedua, setelah orangtua kandungnya. Dengar masalahnya, maka siswa akan dekat dengan kita.